Selasa, 18 Mei 2010

KEANEKARAGAMAN BIOLOGIS

KEANEKARAGAMAN BIOLOGIS
Fransina Latumahina

A. Ukuran-ukuran Berbeda Keanekaragaman Biologis
Salah satu pertalian penting komunitas biologis adalah keragamannya. Keanekaragaman biologis, atau keragaman-bio seperti yang umumnya disebut, muncul sebagai salah satu masalah lingkungan global yang penting selama perdebatan tentang habisnya hutan-hujan tropis tingkat dunia. Semenjak itu, keragaman-bio telah menjadi masalah kepentingan ilmiah dan kepentingan umum di seluruh dunia, tanpa memperhatikan tipe ekosistem terkait. Pembahasan tentang keragaman-bio telah menjadi sulit karena banyak ukuran keragaman berbeda yang dapat digunakan untuk menjelaskannya, dan kegagalan yang terus-menerus dalam mengidentifikasi ukuran mana yang akan digunakan, jika topik ini akan dibahas.
1. Keragaman Genetika di Dalam Spesies. Seperti dibahas pada Bab 6, keragaman genetika merupakan pertalian spesies dengan populasi yang secara vital penting. Adanya ekotipe-ekotipe berbeda memungkinkan spesies bisa terus hidup pada beragam lingkungan fisik dan biotika berbeda, sementara variasi genetika membolehkan populasi spesies beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang berubah. Daya lenting komunitas biotika dalam menghadapi perubahan yang ditimbulkan manusia dan alam merupakan bagian terbesar dikarenakan adaptasi spesies anggota komunitas dimungkinkan oleh keragaman genetika.
2. Keragaman Level-bertahan dan Lokal, Juga Disebut Keragaman Alpha. Keragaman ini diukur dengan kekayaan spesies, kerataan spesies dan keragaman struktural, yang secara kolektif merupakan keragaman alpha. Jumlah spesies yang ada di dalam sampel komunitas khusus – kekayaan spesiesnya – telah menjadi ukuran keragaman-bio yang paling banyak digunakan, dan ketika orang menyatakan kekhawatiran atas hilangnya keragaman-bio, mereka biasanya menyatakan maksud bahwa mereka mengkhawatirkan resiko menurunnya kekayaan spesies, dan tentang hilangnya spesies langka dan spesies yang dibahayakan. Kekayaan spesies biasanya digunakan untuk menunjuk kelompok-kelompok khusus atau perserikatan spesies, dan bukan semua spesies. Ini biasanya karena kita tidak memiliki daftar lengkap seluruh spesies tanaman, hewan, dan mikrobial. Biasanya kita berbicara tentang kekayaan spesies pohon, atau keragaman spesies burung, atau keragaman spesies bertulang belakang di bumi pada komunitas khusus. Hutan pohon cemara boreal akan memiliki kekayaan spesies rendah pada pohon-pohon, tanaman-tanaman berpembuluh dan bertulang belakang, tetapi mungkin memiliki keragaman tinggi hewan-hewan tanah yang tidak bertulang belakang dan mikroba. Kata “mungkin” digunakan di sini secara sengaja, karena jarang kita memiliki informasi tentang kekayaan spesies pada dua kelompok organisme terakhir ini. Sebaliknya, banyak hutan-hujan tropis yang telah mendapatkan ganguan minimal dari aktivitas manusia memiliki jumlah spesies pohon berbeda per hektar hutan, dan keragaman serangga serta bentuk-bentuk kehidupan binatang lain yang merupakan legendaris; hutan-hutan semacam ini biasanya memiliki keragaman alpha kekayaan spesies yang tinggi.
Kekayaan spesies merupakan deskripsi tidak lengkap keragaman biologis spesies alpha karena tidak menjelaskan perbedaan-perbeaan pada kelimpahan relatif spesies-spesies berbeda di dalam komunitas. Bayangkan komunitas hutan dengan ribuan pohon yang termasuk 10 spesies berbeda. Jika sembilan dari spesies diwakili hanya oleh 10 spesies individual dan spesies kesepuluh oleh 910 individual, maka hutan akan memiliki penampilan hutan spesies tunggal (monokultur) dengan beberapa individu spesies tersebar di dalamnya. Sebaliknya, jika semua 10 spesies masing-masing memiliki 100 individual, dan semua terdistribusi secara merata atau secara acak ke seluruh wilayah, hutan ini akan memiliki penampilan hutan spesies bercampur, beragam. Jelas, dua hutan dengan kekayaan spesies sama bisa memiliki keragaman biologis berbeda jika perataan spesies, atau frekuensi relatif spesies berbeda, sangat berbeda.
Keragaman biologis hewan-hewan yang bergantung pada komunitas tanaman erat terkait dengan kekayaan spesies dan perataan komunitas itu, tetapi juga dipengaruhi oleh pengaturan ruang tanaman-tanaman itu, baik secara horisontal maupun secara vertikal, dan adanya pepohonan mati yang berdiri (penghalang) dan kayu-kayu besar yang membusuk di atas tanah. Keragaman struktur langit-langit pohon, adanya celah langit-langit, variasi pada ukuran dan usia pepohonan, dan ukuran serta sifat dekomposisi pohon penghalang dan kayu-kayu besar yang jatuh mempengaruhi jumlah ceruk ekologis potensial yang diberikan oleh komunitas hutan. Contoh keragaman spesies burung di hutan pohon cemara keragaman struktural rendah yang dibicarakan di atas menyatakan bahwa keragaman spesies hewan bisa dan memang ada, bahkan pada komunitas hutan yang secara struktural sederhana. Beberapa hutan “klimaks” atau dengan “pertumbuhan tua” yang memiliki keragaman struktural tinggi memiliki keragaman spesies rendah untuk beberapa atau banyak kelompok organisme yang menjadikan susunan komunitas biologis itu. Meningkatnya keragaman spesies tanaman batang yang sering menyertai penyederhanaan struktural komunitas tanaman tersebut mengikuti gangguan hutan oleh api, angin, atau penebangan juga menyatakan bahwa ada hubungan universal bukan sederhana antara keragaman struktural level-alpha dengan kekayaan spesies. Namun demikian, biasanya dipercaya bahwa di dalam tipe, usia dan kondisi hutan khusus, meningkatnya keragaman struktural akan dihubungkan dengan meningkatnya kekayaan spesies dan semakin besarnya perataan spesies.
Ukuran keragaman alpha yang lain termasuk variasi pada pertalian sejarah hidup dan fungsional spesies yang menyusun komunitas tersebut yaitu: tanaman-tanaman yang berganti daun vs. tanaman yang selalu hijau (evergreen), semak belukar vs. tanaman jamu vs. pepohonan, herbivora vs. saprotrofi vs. karnivora vs. omnivora, tahunan vs. abadi, tanaman berakar batang vs. tanpa akar batang, spesies tepian sungai berbiji vs. spesies tepian sungai tanpa biji; kebutuhan pemakaian nutrien tinggi vs. kebutuhan nutrien rendah, variasi pada toleransi keteduhan, variasi pada kurva kelangsungan hidup dan umur panjang, dst. Ada banyak cara dimana kita bisa menjelaskan keragaman biologis dari suatu komunitas yang dibicarakan (keragaman level-alpha) selain ukuran sederhana panjang daftar spesies, yang biasanya dimaksud oleh seseorang ketika mereka berbicara tentang keragaman-bio.
3. Keragaman Lanskap Lokal, Juga Disebut Keragaman Beta. Saat orang berjalan melintasi landskap lokal, biasanya ia menghadapi serangkaian komunitas biologis berbeda. Ini akan bervariasi pada komposisi spesies dan/atau strukturnya. Variasi lanskap lokal pada kekayaan spesies, perataan spesies, dan/atau struktur komunitas, atau setiap ukuran keragaman alpha lain yang dinyatakan di atas, biasanya merupakan hasil dari salah satu atau kedua (1) variasi pada kelembaban dan kesuburan tanah yang dihasilkan dari variasi pada karakteristik kimia dan fisik tanah, serta karakteristik bentuk-tanah, dan (2) variasi pada sejarah gangguan dan juga tahap pengembangan hutan (yaitu, tahap seral, lihat Bab 15). Lanskap yang memiliki ukuran keragaman-bio alpha rendah di berbagai komunitas yang secara kolektif menyusun biota wilayah bisa memiliki tingkat keragaman beta tinggi atau rendah sebagai akibat dari gangguan ekosistem yang ditimbulkan oleh manusia atau oleh alam di masa lalu, atau keragaman beta tinggi sebagai hasil dari keragaman ekologis yang tinggi: keragaman ruang yang tinggi pada tanah dan kondisi topografis. Hutan boreal dataran rendah yang memiliki keragaman alpha rendah untuk beberapa kelompok organisme bisa memiliki keragaman beta tinggi sebagai akibat dari topografi yang berombak-ombak sehinga memberikan mosaik kompleks bubungan kerikil kering, wilayah berpasir, wilayah berlereng sedang dengan tanah tekstur sedang, serta wilayah bawah yang pengeringannya buruk. Keragaman beta bisa juga akibat dari gangguan penebangan kayu atau gangguan alam tidak sama (api, serangga, angin). Sebaliknya, keragaman alpha yang seringkali tinggi pada hutan hujan tropis bisa terdapat pada lanskap dengan keragaman betanya rendah – ukuran keragaman alpha tidak sangat bervariasi untuk semua lanskap lokal – jika topografi datar dan ada kondisi tanah seragam. Namun demikian, jika ada sejarah gangguan manusia berskala-kecil atau gangguan angin di lingkungan tropis ini, maka keragaman beta bisa juga sedang sampai tinggi.
4. Keragaman Gamma atau Regional. Ciri-ciri topografis terbesar seperti gunung-gunung, variasi pada jarak dengan laut atau danau besar, dan perubahan-perubahan signifikan pada keluasan dihubungkan dengan perubahan iklim yang menghasilkan perubahan-perubahan besar pada bentuk kehidupan dan komposisi spesies tumbuhan dan organisme yang terkait (lihat pembahasan sebelumnya tentang bioma dan pembentukan tanaman). Keadaan ini menciptakan zona-zona ekologis yang menentukan keragaman biologis tingkat-regional dan tingkat-benua.
5. Keragaman ekologis. Variabilitas iklim dan topografis yang membuat keragaman biologis gama, bersama dengan variabilitas tanah dan topografis yang berkontribusi pada keragaman beta, secara kolektif disebut sebagai keragaman ekologis. Keragaman fisik dan kimia untuk lingkungan ini menentukan kerangka keragaman biologis. Di dalam kumpulan potensial menurut kerangka lingkungan ini, proses populasi dan komunikasi, serta proses ekosistem suksesi ekologis (Bab 15) berjalan sesuai dengan gangguan ekosistem, bergerak untuk membuat pola-pola dan tingkat keragaman alpha dan beta.
6. Keragaman Temporal (Waktu). Salah satu pertalian paling mendasar dari keragaman biologis adalah bahwa pertalian tersebut berubah lewat waktu. Perubahan terjadi pada skala waktu dan ruang yang sangat berbeda dengan jenis-jenis ekosistem hutan yang berbeda. Pada beberapa tipe hutan pada iklim barat, perubahan bisa terjadi pada skala ruang kecil (beberapa pecahan hektar) dengan perubahan kecil pada skala besar dalam periode waktu satu sampai beberapa abad. Di hutan yang dicirikan oleh gangguan ekosistem berskala besar yang parah setiap satu atau dua abad atau kurang, berbagai ukuran keragaman biologis bisa berubah lewat skala waktu sependek satu atau beberapa dekade. Keragaman waktu sebanyak karakteristik keragaman-bio kebanyakan hutan adalah keragaman alpha atau beta. Keragaman temporal atau waktu lebih erat terkait dengan skala ruang lokal dibanding regional.
Ada banyak alasan mengapa konservasi keragaman biologis harus menjadi sasaran penting manajemen hutan dan kebijakan konserasi (Kimmins, 1992; Burton et al. 1992). Namun demikian, hanya dengan mengatakan penting, tidak memberi dasar yang cukup untuk mencapai aspek konservasi ini. Dibutuhkan pengidentifikasian sasaran-sasaran keragaman-bio spesifik dengan menggunakan ukuran keragaman-bio spesifik, kelompok-kelompok organisme spesifik, dan skala ruang dan waktu spesifik. Di banyak hutan, sangat penting jika menentukan sasaran-sasaran dalam hubungannya dengan pola-pola waktu keragaman biologis. Penetapan ukuran keragaman alpha khusus pada hutan yang secara alami memperlihatkan perubahan pada ukuran itu lewat waktu, menuntut intervensi manajemen aktif untuk mengeliminasi keragaman-bio temporal natural ekosistem itu. Sebaliknya, dengan menerima keragaman-bio temporal natural bisa memasukkan penentuan suatu ukuran khusus keragaman alpha pada tingkat konstan.
Hutan-hutan alam memperlihatkan tingkat ukuran keragaman biologis berbeda. Beberapa hutan memiliki keragaman spesies pohon yang rendah, tetapi mungkin memiliki keragaman lumut, cendawan, tanaman jamu, dan/atau semak belukar. Beberapa hutan yang jauh lebih kaya dengan keragaman spesies pohon mungkin memiliki tingkat keragaman lebih rendah pada bentuk-bentuk kehidupan tanaman lain ini. Secara relatif sedikit yang diketahui tentang keragaman makhluk tanah tidak bertulang belakang dan mikroba di kebanyakan hutan, kecuali bahwa umumnya keragaman itu tinggi, yang bervariasi antara dua tipe ekosistem hutan berbeda, yang bervariasi lewat waktu sebagai tanggapan terhadap gangguan dan proses-proses suksesi ekologis, dan bahwa ada keragaman temporal yang tinggi pada skala ruang yang sangat kecil, dan keragaman tulang yang tinggi atas wilayah-wilayah kecil.

B. Pola-pola Global Keragaman Biologis
Barangkali satu-satunya penyamarataan yang bisa dipercaya, yang bisa dibuat tentang pola-pola global keragaman biologis pada ekosistem bumi adalah bahwa keragaman alpha untuk banyak kelompok organisme umumnya menurun dari ekosistem dataran rendah tropis ke ekosistem keluasan tinggi atau ketinggian yang tinggi. Hutan hujan tropis di Malaysia bisa berisi mencapai 227 spesies pohon pada kira-kira tanah seluas 2 ha (Richards, 1969), sedangkan hutan kayu-keras di AS timur mungkin hanya memiliki 10-40 spesies overstory (Clark, 1976) di satu wilayah, dan hutan boreal di Kanada mungkin hanya memiliki satu sampai empat spesies. Jumlah setiap spesies bervariasi dari 222 di Brasil sampai 63 di Iowa dan 3 di Alaska Kutub Utara (Fischer, 1960). Ada kira-kira 600 spesies burung yang diternakkan di Panama, 150 di Oregon, dan 26 di pantai utara Alaska (MacArthur dan Wilson, 1967). Jumlah spesies mamalia tanah meningkat dari 15 di Kanada utara sampai lebih dari 150 di Amerika Tengah (Simpson, 1964). Contoh tentang bagaimana keragaman spesies pohon bisa bervariasi menurut keluasan dan ketinggian diberikan pada Figur 14.19. Figur ini menunjukkan keragaman spesies pohon di British Columbia. Keragaman terbesar ditemukan di wilayah pegunungan di bagain selatan propinsi ini di antara bidang pemisah antara kondisi iklim dalam dan iklim pantai.
Banyak penjelasan telah diajukan untuk menjelaskan pola global variasi keluasan pada keragaman.
1. Hipotesis Waktu. Salah satu saran paling awal yang didasarkan pada usia ekosistem tropis besar, dimana evolusi dianggap telah berlanjut dengan gangguan relatif kecil selama jutaan tahun memberikan kesempatan bagi spesies baru untuk berkembang dan untuk keragaman ceruk ekologis: pembagian peran-peran dan kesempatan ekologis di dalam ekosistem antara dua peningkatan jumlah spesies. Sungai es yang terjadi di masa lalu membuat banyak daerah beriklim sedang sangat mudah menurut perbandingan, dengan memberikan waktu lebih kecil bagi keragaman spesies tinggi untuk berkembang. Tentu saja, catatan fossil, meski sangat tidak lengkap, menyatakan adanya lereng keluasan pada keragaman spesies, dan telah ditunjukkan bahwa keragaman spesies serangga yang memasuki pepohonan dihubungkan dengan waktu di atas mana hubungan host-serangga telah berkembang (Southwood, 1961). Misalnya, pohon oak tidak bertangkai, yang berasal dari Inggris, dihubungkan dengan 284 spesies kerangka, sedangkan pohon oak yang selalu hijau, yang diperkenalkan pada tahun 1580, hanya memiliki dua serangga terkait. Sebuah grafik dari sejumlah spesies serangga yang dihubungkan pada saat ini diplotkan terhadap lamanya catatan fossil spesies pohon host di Inggris menunjukkan trend garis-lurus (linear) yang masuk akal (Figur 14.20). Validitas hipotesis waktu sulit dinilai karena ketidaklengkapan catatan fossil dan karena bukti yang ada di mana-mana memerlukan pengamatan aktual, yang hampir tidak mungkin mempertimbangkan skala waktu. Akibatnya, ada lebih banyak kepentingan di dalam hipotesis-hipotesis alternatif.
2. Tingkat Hipotesis Spesiesi. Banyak dianggap bahwa tingkat spesiesi (evolusi spesies-spesies baru) lebih cepat di lingkungan tropis dibanding di lingkungan bersuhu sedang atau di lingkungan kutub utara. Musim tumbuh yang lebih lama dan kekurangan ekstrim lingkungan musim di wilayah tropis memungkinkan banyak generasi per tahun dan pemeliharaan populasi mendekati nilai K mereka (kapasitas mengangkat). Hal ini mengintensifkan kompetisi interspesifik dan menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi spesiesi. Banyak hewan dan burung di daerah tropis lebih terikat pada satu tempat dibanding keluasan dan ketinggian yang lebih tinggi. Karakteristik ini menurunkan aliran gen di antara dua populasi yang menyatu secara genetika yang dengan demikian memfasilitasi spesiesi. Gunung-gunung tinggi di negara tropis cenderung menjadi hambatan lebih besar bagi pergerakan burung dan hewan dibanding gunung-gunung pada wilayah beriklim sedang; gunung-gunung yang tinggi menurut iklim jauh lebih berbeda dari habitat dataran rendah di wilayah tropis dibanding wilayah beriklim sedang (Janzen, 1967).
Seleksi alam di lingkungan tropis merupakan tanggapan terhadap faktor-faktor biotika (interaksi interspesifik), sedangkan pada keluasan dan ketinggian lebih tinggi, fakor-faktor fisik memainkan peran terbesar (Dobzansky, 1950). Pelepasan sistem-sistem yang beradaptasi dari hambatan fisiologis melalui tuntutan lingkungan fisik memungkinkan tanggapan evolusioner lebih cepat terhadap faktor biotika di daerah tropis. Ini mendorong perkembangan feedback positif di antara perkembangan keragaman pada komponen-komponen berbeda komunitas; meningkatnya keragaman hewan mengarah pada keragaman kehidupan tumbuhan yang menciptakan kekuatan bagi keragaman hewan lebih besar.
3. Hipotesis Pemangsa. Teori lain tentang keragaman tropis menyatakan bahwa ada lebih banyak pemangsa atau predator dan parasit di daerah tropis dibanding tempat yang manapun juga dan bahwa kejadian ini bertindak untuk menekan populasi pemangsa pada tingkatan sedemikian rendah dimana persaingan antar spesies pemangsa berkurang (Paine, 1966). Ini memungkinkan penambahan spesies pemangsa lebih banyak, yang pada gilirannya menopang pemangsa-pemangsa baru. Penambahan spesies pemangsa lebih banyak ini cenderung menetapkan kembali persaingan interspesifik, yang pada gilirannya meningkatkan spesiesi lebih jauh. Ada suatu bukti yang mendukung ide ini. Telah ditampakkan bahwa di beberapa komunitas, hilangnya pemangsa menurunkan keragaman spesies pemangsa karena memungkinkan perkembangan dominansi oleh sedikit spesies.
Janzen (1970) telah menyatakan bahwa pemangsa biji berkontribusi pada kepadatan rendah pepohonan dewasa dari satu spesies di hutan tropis dataran rendah yang kaya-spesies dan dengan pengaturan ruang reguler pepohonan semacam ini. Banyak pemakan biji tropis merupakan host spesifik dan cenderung berkumpul di sekitar pohon host. Ini menghasilkan “bayangan biji” di seputar masing-masing pohon dan kenaikan tetap pada pemeliharaan persemaian dengan meningkatnya jarak dari sumber biji, sampai mendekati satu tingkat penyebaran (Figur 14.21). Kelangsungan hidup keturunan pohon berkurang di dalam bayangan bijinya sendiri, sehingga memungkinkan spesies lain tumbuh di sana dan menghasilkan keragaman alpha yang tinggi. Hipotesis Janzen ini menyatakan bahwa pemangsa biji kurang efisien di lingkungan dengan keluasan/ketinggian yang tinggi dan sedang yang kurang beragam. Mendukung teori ini adalah laporan dari Harper (1969) dimana tanaman tumbuhan jamu di pulau yang jauh dari pantai Inggris lebih beragam dibanding wilayah yang banyak dijelajahi kelinci dibanding hilangnya kelinci karena myxamitosis (penyakit virus).
Peran nyata pemangsa pada regulasi populasi masih belum jelas, demikian juga peran pemangsa dalam menentukan keanekaragaman. Kurangnya data untuk menguji hipotesis ini sangat penting, dan bisa jadi bahwa pemangsa lebih penting dalam menjelaskan keragaman alpha di daerah tropis dibanding dalam menjelaskan gradien keluasan global pada keragaman spesies.
4. Hipotesis Stabilitas Lingkungan. Perbedaan penting antara lingkungan tropis dan lingkungan kutub adalah derajad stabilitas lingkungan. Lingkungan dengan keragaman biotika rendah cenderung parah atau tidak bisa diprediksi, atau keduanya, sedangkan lingkungan dengan keragaman biotika tinggi cenderung stabil atau dapat diprediksi, atau keduanya. Fakta yang mengejutkan bahwa keragaman biotika yang lebih besar pada komunitas perairan laut dalam dibanding komunitas air sangat dangkal telah digunakan untuk menolak teori bahwa keanekaragaman terkait dengan temperatur yaitu dengan stabilitas temperatur dengan kemampuan memprediksi perubahan-perubahannya. Iklim stabil memungkinkan perkembangan spesies yang sangat baik beradaptasi dan karenanya ceruk-ceruk lebih potensial dibanding iklim keras dimana ada manfaat selektif kuat yang memiliki adaptasi luas. Menentang argumen ini adalah fakta bahwa ada banyak lingkungan padang gurun panas dan setengah padang gurun yang sangat tidak stabil dalam hal kelembaban namun memiliki keragaman tanaman tinggi. Ini akan mendukung ide bahwa temperatur, dan bukan kelembaban atau stabilitas kondisi lingkungan, yang memiliki pengaruh penting pada keanekaragaman tanaman berbatang di bumi (Whittaker, 1975).
5. Hipotesis Heterogenitas Lingkungan. Tampaknya ada hubungan antara keragaman dan heterogenitas lingkungan. Semakin heterogen dan kompleks lingkungan fisik, semakin kompleks komunitas tanaman dan binatangnya. Wilayah pegunungan dihubungkan dengan keragaman spesies lebih tinggi dibanding wilayah topografi lunak. Gunung-gungung Columbia memiliki spesies burung lebih banyak dibanding Brasil, yang memiliki topografi lebih seragam. Pantai Pasifik dan gunung-gunung di Sierra Nevada di AS memiliki keragaman mamalia lebih tinggi dibanding di dataran tinggi atau di Lembah Mississippi. Di Kanada, hutan pohon jarum di British Columbia beragam menurut iklim dan topografis dibanding hutan pohon jarum di lingkungan yang fisiknya kurang berubah di propinsi-propinsi seperti Saskatchewan, Manitoba, dan Ontario. Keragaman paling besar di British Coloumbia ditemukan di gunung-gunung di daerah pantai di zona transisi antara wilayah beriklim pedalaman dan pantai (Figur 14.19). Wilayah ini memiliki keragaman lingkungan fisik yang khususnya tinggi. Relief berpegunungan dicirikan dengan variasi-varisi menyolok dengan ketinggian, aspek, lereng, iklim dan tanah, dan heterogenitas ini dihubungkan dengan besarnya keragaman tanaman dan hewan.
Aspek heterogenitas ruang yang menarik ditemukan di antara burung-burung. Sebuah penelitian keragaman burung di hutan yang berganti daun di AS timur menampakkan bahwa ada hubungan lebih kuat antara keragaman spesies burung dan keragaman ketinggian-daun dibanding antara keragaman burung dan keragaman spesies tanaman. Keragaman ketinggian-daun menjadi alat pengukur stratifikasi (pelapisan) mahkota-mahkota tanaman. Keragaman ketinggian-daun yang tinggi terjadi jika daun-daun melihat terus-menerus dari tanah ke langit-langit atas, apakah ini karena berbagai spesies atau karena bermacam kelas usia spesies tunggal (MacArthur dan MacArthur, 1961).
5. Ukuran dan Isolasi Ruang “Pulau-pulau.” Keragaman spesies di atas pulau, tanjung, atau tempat kehidupan tanaman terisolasi (misal, “pulau-pulau” hutan di tanah berumput, daerah pertanian atau pedesaan, atau kehidupan tumbuhan di puncak yang tinggi dan terisolasi) menghadirkan masalah spesial. Telah diamati bahwa jumlah spesies di atas pulau-pulau lautan bergantung pada ukuran pulau (Figur 14-22) yang dimodifikasi oleh jarak pulau dari tanah daratan, dan bahwa bentuk hubungan itu sangat konstan. Jumlahnya bergantung pada dua faktor: tingkat pada mana spesies menjadi punah dan tingkat pada mana kepunahan digantikan dengan imigrasi ke pulau tersebut. Penjelasan atas menurunnya keragaman pada pulau kecil adalah bahwa persediaan sumber daya yang kecil di pulau kecil tidak bisa menopang populasi besar dan/atau banyak spesies, dan karenanya, tingkat kepunahan lebih tinggi dibanding di atas pulau besar dengan banyak sumber daya. Dianggap (MacArthur dan Wilson, 1967) bahwa jarak pulau dari sumber imigran akan memiliki tingkat imigrasi lebih rendah dan karenanya akan mendukung keragaman keseimbangan lebih rendah dibanding pulau-pulau yang ada di dekat sumber imigran tanah daratan. Kurva area-spesies seharusnya naik dengan lebih cepat di pulau-pulau yang dekat dengan tanah daratan dibanding di atas pulau-pulau terpencil. Banyak ekolog telah menyelidiki ide ini dengan menyebutnya sebagai Teori Biogeografi Pulau, yang akan dibahas di bawah ini.

C. Teori Biogeografi Pulau dan Fragmentasi Hutan
Wilayah besar hutan tropis yang dikonversi menjadi tanah pertanian akan meninggalkan tempelan-tempelan hutan tersisa yang terpencil. Urbanisasi, pertanian dan penggunaan tanah yang lain juga menciptakan tempelan hutan sekunder matang terisolasi di dalam matriks kondisi ekosistem bukan hutan permanen di keluasan yang lain. Masalah ini telah mengangkat pertanyaan tentang seberapa banyak spesies asli untuk hutan orisinil akan terus hidup di dalam fragmen-fragmen hutan yang terisolasi ini. Banyak orang telah membangkitkan konsep teori biogeografi pulau untuk meneliti masalah fragmentasi hutan (misal, Harris, 1984).
Hubungan antara keragaman spesies dan ukuran “pulau” yang diajukan oleh teori biogeografi pulau tampaknya secara umum benar dimana ada “tepian keras” yang relatif permanen dan secara logis signifikan antara “pulau” dan sekitarnya. Bidang pemisah pulau dan laut merupakan halangan permanen dan signifikan untuk imigrasi dan emigrasi yang memainkan peran penting dalam menentukan hubungan kekayaan spesies-ukuran pulau. Taman-taman hutan yang ditanam di daerah kota besar, atau tempelan hutan yang dikelilingi oleh pertanian permanen, juga memperlihatkan “tepian ekologis” yang secara relatif keras yang menghambat imigrasi hewan, tanaman dari populasi-besar yang ada di sekitarnya (Bab 13), yang dapat mengkompensasi kepunahan populasi lokal. Semakin besar tempelan hutan semakin besar kesempatan untuk mengembangkan populasi-besar di dalam tempelan dari mana kepunahan populasi lokal dapat digantikan, dan semakin besar kemungkinan dimana organisme bergerak dari populasi-besar yang ada di sekitar akan mencapai dan mengkolonisasi tempelan itu. Untuk spesies dimana untuk alasan fisik atau biologis tidak bisa berlangsung hidup mendekati “tepian keras,” semakin besar tempelan, semakin besar wilayah habitat yang bisa mereka tempati (yaitu, semakin besar wilayah “habitat interior”). Akhirnya, semakin besar tempelan, semakin besar kesempatan yang akan mencakup keragaman lingkungan; tempelan hutan kecil yang termasuk keragaman tanah dan topografis signifikan bisa menopang kekayaan spesies lebih tinggi dibanding tempelan jauh lebih besar dengan tingkat heterogenitas lingkungan yang rendah.
Teori biogeografi pulau jelas merupakan konsep yang sangat berguna untuk mendesain taman-taman dan penampungan ekologis serta kehidupan liar dimana perbedaan-perbedaan ekologis di antara wilayah reservasi dengan wilayah sekitarnya secara relatif menjadi “tepian keras” yang bertahan untuk spesies yang dibicarakan. Di lain pihak, apabila “kerasnya” tepian ini melunak bersama waktu karena suksesi ekologis, atau apabila paling sedikit bagian dari lingkungan yang ada di sekitarnya cocok untuk perpindahan spesies (yaitu, ada hubungan atau “jembatan” dengan habitat lain yang cocok), teori ini bisa memberikan prediksi yang bagus atas kekayaan spesies. Tampaknya inilah yang terjadi dengan banyak hutan penampungan yang ditanam di dalam matriks hutan yang dikelola. Apabila hutan yang ada di sekitarnya dikelola untuk mempertahankan pola-pola kelas usia hutan, tahap-tahap seral (Bab 15), dan struktur komunitas serta yang memfasilitasi penyebaran spesies dan mencegah adanya “tepian keras” yang ada di sekitar penampungan keseluruhan, maka hubungan ukuran tempelan-keragaman akan menjadi kurang bisa dipercaya. Hubungan ini juga akan bervariasi menurut derajad keragaman ekologis di daerah tempelan hutan yang dimaksud.
Ukuran dan bentuk hutan penampungan, dan pola serta tipe pemanenan hutan untuk seluruh lanskap memiliki implikasi penting bagi berbagai ukuran keanekaragaman biologis. Sekali sasaran keragaman-bio spesifik telah ditentukan, pola-pola gangguan ekosistem lanskap seharusnya didesain sehingga akan mencapai sasaran-sasaran ini. Keberhasilan dalam hal ini sangat tidak mungkin jika satu konsep, paradigma atau teori tunggal dijalankan untuk semua lanskap, tanpa memperhatikan perbedaan ekologisnya dan perbedaan pada ekologi organisme-organisme berbeda di wilayah-wilayah berbeda. Sasaran keragaman-bio yang spesifik-lokasi, spesifik-lanskap dan spesifik-situasi harus dirumuskan, dan rencana yang sama-sama spesifik dikembangkan untuk mencapainya. Apabila ada beberapa prinsip dan konsep yang berjalan luas untuk semua lanskap, dalam banyak hal, konservasi keragaman-bio yang berhasil, bagaimanapun ini ditentukan, harus didasarkan pada spesies lokal, ekosistem dan ekologi lanskap, serta tidak harus didasarkan pada teori disamaratakan yang mengabaikan keragaman ekosistem hutan dimana kita berusaha untuk “mengawetkan keragaman-bio.”

D. Keanekaragaman Biologis dan Stabilitas Komunitas dan Ekosistem
Topik penting ini dibahas pada Bab 15. Topik ini penting karena kita harus memahami implikasi perubahan level-level natural dan pola-pola temporal natural perubahan pada keragaman-bio untuk stabilitas, gaya pegas dan berjalannya fungsi ekosistem hutan. Cukup dicatat di sini bahwa seringkali hubungan sederhana setelah-dicari antara “keragaman” dan “stabilitas,” meski ditentukan, namun tetap dihindari. Meski ada contoh dari tipe-tipe ekosistem hutan khusus dimana ukuran-ukuran khusus keragaman biologis tampaknya terkait dengan ukuran stabilitas spesifik tertentu, namun umumnya tidak ada hubungan yang bisa dijalankan, yang telah muncul dari penelitian-penelitian yang telah dijalankan. Contoh selanjutnya menampakkan bahwa bermacam-macam hubungan fungsi stabilitas-keragaman dan ekosistem-keragaman terjadi di hutan-hutan yang belum dikelola, dan bahwa tingkat hubungan yang sama bisa terjadi di hutan-hutan yang dikelola. Untuk menyelesaikan pertanyaan ini sedemikian rupa, kita bisa merancang sistem manajemen hutan yang bisa ditahan yang tampaknya meminta kita untuk menyerahkan pencarian hubungan yang disamaratakan, yang bisa dijalankan di mana saja, dan mengalihkan perhatian kita terhadap pemahaman bagaimana hubungan-hubungan ini bervariasi pada tipe-tipe dan kondisi-kondisi ekosistem hutan yang berbeda.

Efektivitas insektisida nabati Serai wangi (Andropogon nardus l.) terhadap rayap tanah ( Mactotermes gilvus hagen) pada tegakan tusam dalam kawasan hu

Efektivitas insektisida nabati Serai wangi (Andropogon nardus l.) terhadap rayap tanah ( Mactotermes gilvus hagen) pada tegakan tusam dalam kawasan hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon

Fransina Latumahina.S.Hut.MP
Dosen Pada Jurusan Kehutanan Faperta Unpatti Ambon
Email : sin_latumahina@yahoo.com

Abstract
One limiting factor in the development of Pine plantations is the presence of pests. Pest termites is one type of plant pests which often attack Pine and quite dangerous, because it can kill plants, especially at the poles and trees. Therefore, control measures need to be done for the expansion termite attack. Nowadays commonly used control technique is controlling the use of synthetic chemical insecticides. If the use of synthetic chemicals is not wise and the rules it have negative impacts on the environment and living things around it. One effort to control this pest termites are active with insecticide made from Sereh wangi (Andropogon nardus). The purpose of this study was to examine the effectiveness of botanical insecticides made from Sereh wangi active against pest subterranean termites in a laboratory experiment was conducted with various treatment concentrations of 1%, 3%, 5%, 7%. Application of botanical insecticides on sprayed by pest termites. Results showed that at concentrations of 5% in the second week has reached 100% mortality. While at concentrations above 5% to 100% mortality achieved in the first week after treatment.

Key Words : Termites, Sereh Wangi, botanical insecticides

I. Pendahuluan
Perlindungan terhadap kawasan hutan lindung mutlak dilakukan dalam rangka mempertahankan fungsi dan peran hutan lindung sebagai pengatur tata air, pencegah banjir, pencegah erosi serta pemelihara kesuburan tanah dengan mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil hutan yang disebabkan oleh faKtor alam maupun manusia. Hutan lindung Gunung Nona Kota Ambon dengan luasan 877, 78 ha memiliki fungsi dan peran yang cukup besar bagi masyarakat Kota Ambon, namun dalam kurun waktu tiga tahun belakangan kawasan ini mengalami goncangan akibat serangan hama dalam kawasan. Serangan hama mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tegakan bahkan dapat mengakibatkan kematian akibatnya kwalitas dan kwantitas tegakan akan mengalami penurunan dan pada gilirannya berimbas pada fungsi dan peran hutan lindung.
Dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon ditemukan komunitas pohon Tusam (Pinus merkusii Jung et de Vriese) yang cukup luas dan merupakan salah satu jenis prioritas yang sedang dikembangkan dalam kawasan terutama untuk tujuan reboisasi demi mempertahankan fungsi konservasi kawasan. Hasil pemantauan terhadap komunitas pohon Tusam dalam kawasan ditemukan adanya gejala – gejala serangan hama rayap (Mactotermes Gilvus Hagen) sehingga dikwatirkan akan ikut menganggu kwantitas maupun kwantitas dari pohon Tusam yang pada gilirannya juga akan berimbas pada keberadaan dan fungsi kawasan secara menyeluruh.
Untuk menghindari kerugian yang disebabkan oleh hama rayap tanah telah dilakukan tindakan pengendalian dengan berbagai cara, antara lain secara kimiawi dan secara hayati. Pengendalian secara kimiawi yaitu usaha pengendalian dengan menggunakan bahan kimia (insektisida), misalnya dengan menggunakan insektisida heptachlor, chlordane dan HCS (Natawiria, 1973). Cara ini dipandang kurang menguntungkan karena selain biayanya mahal, pemakaian insektisida kimia/sintetis juga dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan, seperti keracunan pada hewan dan manusia serta pencemaran air.
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mencari sarana pengendalian alternatif yang dapat mengendalikan hama secara efektif tetapi ramah lingkungan. Salah satu alternatif yang memiliki prospek baik untuk mengendalikan rayap tanah yang menyerang Tusam adalah dengan insektisida nabati yang bahan dasarnya berasal dari tanaman sereh wangi (Cymbopogon nardus) karena jenis ini memiliki kemampuan untuk menurunkan populasi hama (Kardinan, 1992). Bagian daun serai wangi banyak mengandung minyak atsiri yang terdiri dari senyawa sitral, sitronella, geraniol, mirsena, nerol, farsenol, metal heptenon, dan diptena. Bahan aktif yang mengandung zat beracun adalah geraniol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aplikasi ekstrak serai wangi terhadap rayap tanah yang menyerang tanaman Tusam dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon.








II. METODE PENELITIAN
2.1. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yakni penelitian lapangan dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon khususnya pada areal penanaman Tusam pada bulan Januari hingga Maret 2009 dan dilanjutkan dengan penelitian laboratorium pada Laboratorium Biologi Dasar Fakultas KIP Universitas Pattimura Ambon pada bulan April 2009 hingga selesai.
Hutan Lindung Gunung Nona tergolong iklim tipe B (Bulan Basah) dengan curah hujan pertahun sebesar 2,8396 mm dengan rata – rata hujan pertahun adalah 187,90 hari. Suhu udara makro di Kota Ambon mencapai 26,5 oC dan suhu mikro dalam kawasan 25, 5 oC dengan kelembaban mikro 75 %. Kondisi lahan dalam areal hutan lindung Gunung Nona adalah bergelombang hingga curam dengan kelerengan 8 hingga > 45 % dengan jenis tanahnya adalah batuan beku ( granit, kuarsa, peridotit ) dan batuan sedimen ( Batu Pasir dan Koral)

2.2. Alat Dan Bahan
Peralatan yang digunakan daalm penelitian ini adalah Label pohon, semprotan tangan, ember, sarung tangan, gelas ukur, gayung, Thermohygrometer, air secukupnya, bahan pelarut (tipol) dan sabun cuci. Bahan yang digunakan meliputi: ekstrak serai wangi, Pohon Tusam tingkat tiang dan pohon

2.3. Metode Penelitian
Tahapan kegiatan penelitian meliputi:
a. Pembuatan ekstrak serai wangi.
• Daun serai wangi diiris kecil-kecil
• Dijemur selama 8 hari hingga kadar air mencapai 10%
• Digiling hingga halus
• Diekstrak dengan Methanol selama 3 jam dan didiamkan selama 24 jam
• Disaring hingga berbentuk filtrat


b. Perlakuan pada Pohon Tusam
Perlakuan ekstrak serai wangi dengan jalan penyiraman di sekitar perakaran
tanaman Tusam selebar tajuk dengan konsentrasi sebagai berikut:
A = konsentrasi 0% (control)
B = konsentrasi 1 %
C = konsentrasi 3 %
D = konsentrasi 5 %
E = Konsentrasi 7 %
Tiap perlakuan diberikan pada 10 pohon dalam kawasan dengan masing-masing perlakuan diulang sebaganyak 10 kali.
C. Parameter yang diamati
 Aktivitas serangan rayap
 Intensitas serangan rayap tanah setelah aplikasi insektisida
 Pengamatan dilakukan setiap 4 hari sekali selama satu bulan
Untuk membantu pengamatan tingkat kerusakan tegakan Tusam akibat serangan rayap tanaman digunakan kriteria seperti pada tabel dibawah ini ( Husaeni, 2001):

Tabel 1. Kriteria Penilaian Tingkat Serangan Rayap
Klasifikasi
serangan
Nilai ( Skor ) Kriteria Serangan
A ( Sehat ) 0 Tidak Ada Serangan Rayap
B( Ringan ) > 0-25 Terdapat Lorong Rayap
( 1- 5 Lorong)
C ( Sedang ) > 25-50 Terdapat Banyak Lorong
( > 5 lorong )
D ( Berat) > 50-75 Pohon Merana
E ( Sangat Berat ) > 75 Pohon Mati





III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Aktivitas Serangah Rayap
A. Aktivitas Serangan Rayap
Rayap tanah (Macrotermes gilvus Hagen) berasal dari Famili Termitidae bersarang dalam tanah dekat tegakan Tusam karena batang Tusam mengandung selulose. Rayap ini dapat menyerang tanaman baik yang hidup maupun yang mati sampai jarak 200 meter dari sarangnya (Tarumingkeng, 1971). Kasta pekerja dari rayap ini biasanya merusak tanaman karena populasinya mencapai 80% dari selurung anggota koloni. Rayap muda yang baru ditetaskan dari telur belum memiliki protozoa yang diperlukan untuk mencerna selulose. Protozoa ini berguna untuk mencernakan selulosa yang telah dimakan.
Mobilisasi rayap menuju tegakan Tusam akan melewati terowongan- terowongan kembara, yaitu jalur-jalur sempit yang berasal dari pusat sarang yang hanya dapat dilalui sekaligus oleh sekitar 3-4 ekor rayap. Untuk mengenali tanaman target maka rayap pekerja mengeluarkan feromon penanda jejak dan mendeteksi makanan. Kemampuan mendeteksi dimungkinkan karena mereka dapat menerima dan menafsirkan setiap bau esensial bagi kehidupannya melalui lobang-lobang tertentu yang terdapat pada rambut-rambut yang tumbuh di antenna. Untuk dapat mendeteksi jalur yang dijelajahinya, individu rayap yang berada didepan mengeluarkan feromon penanda jejak (trail following pheromone) yang keluar dari kelenjar sternum (sternal gland di bagian bawah, belakang abdomen), yang dapat dideteksi oleh rayap yang berada di belakangnya. Sifat kimiawi ini sangat erat hubungannya dengan bau makanannya sehingga rayap mampu mendeteksi obyek makanannya.







B. Intensitas Serangan Rayap Tanah Setelah Aplikasi Insektisida
Dari hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan diperoleh data hasil persentase serangan rayap tanah pada tanaman kayu putih dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Persentase Mortalitas rayap tanah pada tegakan Tusam
(Pinus merkusii Jung et de Vriese ) Dalam kawasan Hutan Lindung Gunung Nona Kota Ambon.

Perlakuan Konsentrasi Mortalitas Rayap
Minggu Ke - I Mortalitas Rayap
Minggu ke - II Mortalitas Rayap
Minggu Ke - III
Mortalitas Rayap
Minggu ke - IV
A ( 0 % ) Kontrol 0 % 0 % 0 % 0 %
B ( 1 % ) 20 % 35 % 55 % 75 %
C ( 3 % ) 40 % 60 % 80 % 85 %
D ( 5 %) 95 % 100 % 100 % 100 %
E ( 7 %) 100 % 100 % 100 % 100 %

Dari tabel diatas terlihat bahwa aplikasi insektisida ekstrak serai wangi dengan perlakuan konsentrasi 5 % cukup efektif mematikan rayap tanah pada minggu ke dua. Hal ini disebabkan karena serai wangi merupakan tumbuhan herba menaun dan merupakan jenis rumput rumputan masuk ke dalam famili Graminae (Poaceae). Bentuk daun tunggal berjumbai, panjang sekitar 1 meter dengan lebar 1,5 cm tepi daun kasar dan tajam. Permukaan daun bagian atas dan bawah berambut berwarna hijau muda, batang tidak berkayu dengan akar serabut (Kardinan, 2005). Menurut Sait (1991) senyawa kimia yang terdapat dalam minyak serai wangi adalah sitronelal, sitonelol dan geraniol hal ini juga dikatakan oleh Kardinan (2005) bahwa serai wangi mengandung minyak asiri yang terdiri dari senyawa sitral, sitronela, geraniol, mirsena, nerol, farnesol, metil heptenon dan dipentena.





Aplikasi insektisida ekstrak serai wangi bekerja sebagai racun kontak dan kandungan bahan aktif berupa geraniol dan citronella yang diduga menyebabkan kematian rayap. Sesuai pendapat Kardinan (1992) yang menyatakan bahwa pestisida nabati sereh wangi tidak membunuh rayap secara cepat, tetapi berpengaruh mengurangi nafsu makan, pertumbuhan, daya reproduksi, proses ganti kulit, hambatan menjadi serangga dewasa, sebagai pemandul, serta mudah diabsorsi oleh tanaman. Daun sereh wangi mengandung geraniol dan citronella yang pada konsentrasi tinggi memiliki keistimewaan sebagai anti feedant, sehingga rayap tidak bergairah memakan tanaman, sedangkan pada konsentrasi rendah bersifat sebagai racun perut yang bias mengakibatkan rayap mati. Rayap mempunyai ukuran tubuh yang lebih kecil sehingga luas permukaan luar tubuh rayap relatif lebih besar untuk bersentuhan dengan insektisida. Bagian kutikel pada tubuh rayap yang terdapat pori dan lubang keluar kelenjar epidermis dan sensila berperan penting dalam melewatkan insektisida ke dalam tubuh rayap. Disamping itu kematian rayap diperberat oleh sifat yang nekropagi (memakan bangkai sesamanya) dan kanibalisme (memakan anggota yang lemah atau sakit), padahal rayap yang mati atau dalam keadaan lemah tersebut dapat diakibatkan karena terkena racun insektisida, sehingga rayap yang memakan sesamanya tersebut akan mati. (Tarumingkeng, 1971).

IV. Kesimpulan dan Saran
4.1. Kesimpulan
a. Insektisida nabati minyak serai wangi (Andropogon nardus L.) pada konsentrasi 5 % cukup efektif untuk mengendalikan serangan rayap tanah ( Mactotermes gilvus Hegen ) dengan mortalitas tertinggi 100% pada minggu kedua setelah perlakuan.

4.2. Saran
a. Dianjurkan apabila akan digunakandalam pengendalian hama maka konsentrasi insektisida nabati minyak serai wangi diturunkan, agar tidak terjadi efek fitotoksik.








DAFTAR PUSTAKA
Atmadja, W.R., A. Ismanto dan Supriadi. 2009. Efikasi formula insektisida nabati minyak serai wangi dan cengkeh terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus.
Prosiding Simposium Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. PT Penerbit IPB
Press dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor : 228-232
Dadang dan D. Prijono. 2008. Insektisida Nabati: Prinsip, Pemanfaatan, dan Pengembangan. Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor : 163 hal
Djojosumarto, P. 2006. Pestisida dan Aplikasinya. Agromedia Pustaka, Jakarta : 339 Hartati, SY., E. M. Adhi dan N. Karyani. 1994. Uji efikasi minyak cengkeh dan serai
wangi terhadap Pseudomonas solanacearum. Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida Nabati. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor. 37 - 42
Husaeni, E.A. 2001. Hama Hutan Tanaman. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,
Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta
Sait, S. 1991. Potensi minyak atsiri daun Indonesia sebagai sumber bahan obat. Prosiding Pengembangan Tanaman Atsiri di Sumatera. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor : 129-134.